Pages

Subscribe:
  • Legion OF entrepreneur adalah sebuah wadah organisasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang mewadahi minat mahasiswa di bidang entrepreneur, serta sebagai wahana lahirnya para entrepreneur baru masa depan....

Selasa, 18 Oktober 2011

MEMBANGUN JIWA DAN SEMANGAT KEWIRAUSAHAAN

“Saya tidak mencari pekerja atau karyawan, tetapi saya mencari partner yang mau membangun usaha ini bersama saya.” Demikian diungkapkan oleh Sandi Kusnadi, S.T., MBA, pada saat mengawali usaha kue-kue coklat yang berlokasi pada salah satu konter di kawasan wisata kuda De Ranch, beberapa waktu lalu. Kata-kata itu diucapkan di hadapan seseorang yang awalnya memang sangat berminat bekerja karena tuntutan kehidupan, bukan untuk bekerjasama. Cara pandangnya segera berubah saat Sandi mengatakan bahwa meskipun demikian, ia masih tetap akan dihargai berdasarkan prestasi yang ditunjukkan pada saat mengawali usaha yang digelutinya. Calon mitra usaha itu kemudian merasa lega, karena tidak seperti yang diduga sebelumnya, kalau ia harus mengeluarkan modal. Padahal tidak demikian. Modal yang perlu dikeluarkannya cukup hanya dengan tenaga dan waktu, yang akan dibarter dengan penghargaan yang dinilai dengan uang.  
Saya teringat akan kisah Willard Walker, manajer pertama dari Walton’s Five and Dime, Fayetteville, salah satu toko awal dari grup raksasa Wal-Mart yang didirikan oleh raksasa ritel Amerika, Sam Walton. Willard menceritakan bahwa ketika pertama kali bertemu dengan Sam Walton ketika Sam dan kakak iparnya, Nick Robson, berkunjung ke toko TG & Y Dime Store yang dikelola Willard di Tulsa. “Ia bercakap dengan saya selama satu jam, menanyakan banyak hal, dan pergi, dan saya tak mengingatnya lagi. Kemudian ia menelpon dan menawarkan pekerjaan sebagai manajer toko di Fayetteville yang baru dibukanya. Saya harus pindah ke sana, bekerja setengah hari tanpa bayaran sampai toko dibuka, dan tidur di gudang. Ia menjanjikan bagian dari keuntungan, dan hal ini menarik bagi saya. Ketika saya mengundurkan diri dari TG&Y, vice preseidentnya berujar, ‘Ingat Willard, persentase dari nol adalah nol. Tapi saya tetap bergabung dengan Sam, yang setiap hari bekerja di sana sampai kami semua pulang. Ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja tiap hari sampai toko itu berhasil dibangun dari nol”, pengakuan Willard.
Selanjutnya Willard mengatakan, “Kemudian setelah ada banyak Wal-Mart dan kami go public, saya meminjam banyak sekali uang untuk membeli sahamnya, Bud dan Sam sedang mengunjungi toko suatu hari, dan ketika melihat saya, Bud berkata, ‘Willard, mudah-mudahan perhitunganmu tidak meleset.’ Ia mengatakan bahwa saya memercayai perusahaan ini lebih dari dia sendiri. Saya yakin perusahaan ini akan berhasil. Falsafahnya masuk akal, dan Anda mau tak mau akan memercayai Sam”.
Ada catatan mendasar yang menjadi kunci keberhasilan dalam mengawali wirausaha. Itu adalah kualitas manusia sebagai sumber daya. Bahkan tidak hanya menjadi sumber daya, tetapi sekaligus juga sumber dana. Jika hal ini dikaitkan dengan gelaran CAFTA yang banyak mengundang opini pro dan kontra, pertanyaan mendasar yang segera terdengar, siapkah masyarakat Indonesia menyambut pasar bebas CAFTA ini? Siapkah sumber daya manusia negeri ini diadu dengan negara lain?
"Jika sikap dan kesiapan Indonesia tetap begini-begini saja, saya yakin Indonesia akan kalah bersaing. SDM Indonesia harus siap berubah. Dalam sebuah organisasi, manusia Indonesia harus menjadi aktor, bukan sekedar faktor pelengkap keberhasilan sebuah industri," ujar Dra. Tanti Syachroni, Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya dalam Kuliah Umum "Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era CAFTA" di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI UII), beberapa waktu lalu.
Perusahaan industri Indonesia sudah seharusnya menjadikan manusia atau pegawai mereka sebagai partner strategis perusahaan. "Kita harus bisa mendapatkan, menempatkan, dan mengembangkan SDM yang berkompetensi tinggi. Kompetensi yang saya maksudkan ini terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude)," tutur Tanti memberikan ungkapan yang sesuai dengan bidang yang ia geluti saat ini. 
Dunia pendidikan Indonesia, menurutnya, masih kurang komplit dalam membekali mahasiswa. Pasalnya, perguruan tinggi saat ini membekali mahasiswanya hanya dari sisi pengetahuan dan skill saja. Itu pun umumnya lebih menitikberatkan pada hard skill atau keterampilan teknikal saja. "Padahal, ada satu faktor lagi yang tak kalah penting, yaitu sikap atau attitude. Di perguruan tinggi Indonesia, untuk keterampilan personal atau sikap, justru harus digali sendiri oleh mahasiswanya. Akhirnya, ini hanya menjadi beban perusahaan untuk melengkapi dan mengembangkan mereka ketika diterima bekerja. Inilah yang harus dipikirkan dengan seksama oleh para pengelola perguruan tinggi kita," ujar Tanti yang masih tercatat sebagai mahasiswa Program Magister Manajemen Universitas Narotama Surabaya. 
Keunggulan kompetensi manusia Indonesia ini sering diungkap oleh berbagai media maupun para pakar. Yang justru diperlukan dalam menghadapi pasar bebas ini, bukan hanya tenaga-tenaga yang hanya sekedar menjadi partner usaha atau karyawan/pegawai, tetapi yang benar-benar mampu terjun ke bidang wirausaha, menggeluti dan menekuninya sampai berhasil. Jiwa dan semangat wirausaha itu yang perlu ditumbuhkan di kalangan generasi muda kita, sehingga mereka tidak menciptakan ketergantungan pada pihak lain, tetapi sebaliknya menciptakan kemandirian, baik sebagai individu maupun bangsa. Oleh karena itulah, kini muncul berbagai macam lembaga pendidikan maupun pelatihan yang bertujuan menumbuhkembangkan jiwa dan semngat kewirausahaan itu.
“Entrepreneurship (kewirausahaan) adalah sebuah faktor kunci yang hilang”, kata Dr.Ir. Ciputra, pendiri Universitas Ciputra. Dalam buku Quantum Leap, Bagaimana Entrepreneurship Dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan Bangsa; ia memberikan jawaban bagaimana entrepreneurship sebagai faktor kunci bisa kembali diraih dan digunakan oleh seseorang maupun sebuah bangsa untuk membuka pintu keluar dari masalah pengangguran dan kemiskinan. Bahkan bisa digunakan untuk membangun kesejahteraan.
Dalam berbagai cara sosialisasi, baik melalui kuliah langsung maupun pelatihan-pelatihan dan seminar, Ciputra mengajukan 7 macam pertanyaan mendasar untuk membangun dan memicu jiwa kewirausahaan. Pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan dan terus menerus dicari digali untuk mendapatkan jawaban bagi masing-masing entrepreneur muda.
1. Apakah anda berhasrat besar menjadi seorang entrepreneur? Anda dapat memberikan pernyataan-pernyataan utuk dapat meyakinkan orang lain bahwa Anda benar-benar memiiki hasrat besar untu menjadi wirausahawan.
2. Apakah anda melihatkesempatan besar untuk melayani pasar? Apakah kita melihat sebuah peluang besar yang belum dilakukan orang lain...?
3. Apakah anda punya produk inovatif yang sulit ditolak oleh prospek anda? Apa “kuda Troya” Anda?
4. Apakah anda mampu memenangkan persaingan secara efektif? Jadilah yang lebih baik bukan hanya di barisan belakang. Jika Anda tidak dapat menjadi lebih baik, ciptakan perbedaan.
5. Apakah Anda bisa menghasilkan produk dan memasarkannya dengan cara yang paling efisien? Sebagian kecil orang membeli karena mahal. Sebagian besar orang membeli karena murah.
6. Apakah Anda tahu cara mendanai ide usaha baru Anda dengan biaya termurah, resiko terendah & hasil yang terbaik? Misalnya dengan: modal sendiri, mitra, bank, modal ventura, atau mencicil?
7. Apakah anda siap menghadapi tuntutan kerja keras, berani menanggung resiko gagal dan rugi? Perlu juga disiapkan mentalitas, bahwa sukses dan gagal memiliki nilai yang sama.

Nah, 7 pertanyaan itu kita manfaatkan sebagai pelajaran untuk mengembangkan jiwa dan semangat entrepreneurship yang secara terus menerus perlu kita tumbuhkan, kita kembangkan, kita pupuk, kita sirami, sampai pada akhirnya bertumbuh, berkembang, berbuah berlimpah-limpah.

1 komentar:

Legion Of Entrepreneur mengatakan...

blog yang cukup menarik jiga hahahahaha

Posting Komentar